Pages

Gunung Ciremai

Wednesday, September 25, 2013

Photo taken by Bunny Hillary

Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.


Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Kini G. Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.

Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.

Photo taken by Bunny Hillary
Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung. Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991). 

Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.

Pendakian Jalur Apuy

Perjalanan relatif santai dengan medan tidak terlalu terjal dan sesekali memberi sedikit bonus (agak datar). Pos Simpang Lima (1908 mdpl) berupa dataran cukup untuk 2-3 tenda kapasitas 4 orang. Dari Pos 2 (Simpang Lima) menuju Pos 3 (Tegal Wasawa) memerlukan waktu tempuh sekitar 1 jam. Jalur semakin terjal, hutan makin tertutup dan bonus menjadi langka. Sekitar 100 m menjelang pos III, terdapat simpang tiga yang cukup jelas, pertemuan jalur baru dan jalur lama. Jalur di sisi kanan merupakan jalur lama dari pos I yang melewati situ (danau) dan kuburan dengan track agak melambung. Kami mengambil jalur kiri menuju ke pos III. Pos III (Tegal Wasawa) 2.400 mdpl) berupa dataran cukup untuk 1 tenda kapasitas 4. Dari Pos 3 Tegal Wasawa menuju Pos 4 Tegal Jamuju (2.600 mdpl) waktu yang ditempuh sekitar 35 menit. Medan berupa tanah yang cukup padat melintasi hutan yang cukup lebat dan rindang. Sesekali melintasi akar-akar pohon. Dari Pos 4 (Tegal Jamuju) menuju Pos 5 Sanghiang Rangkah (2.800 mdpl) waktu tempuh sekitar 1 jam 20 menit. Perjalanan menuju Pos 5 cukup panjang dan terjal. Pos V merupakan pertemuan jalur Apuy dan Palutungan, di sebelah kanan terdapat papan penunjuk jalur. Palutungan menuju Sanghiang Ropoh, Pos VII jalur Palutungan. Di sisi jalur menurun ke bawah, terdapat sungai kering. Beberapa bagian jalur sungai tsb. terdapat ceruk dengan genangan air. Pos 5 Sanghiang Rangkah menuju Pos 6 Goa Walet yang berada diketinggian 2.950 m dpl perlu waktu tempuh sekitar 2 jam. Jalur berbatu menganak sungai membuat perjalanan melambat. Di tengah jalur batu, terdapat sebatang pohon yang ditempel papan penunjuk ke puncak dan turun ke arah Palutungan. Pos 6 Goa Walet menuju Puncak Ciremei hanya perlu waktu 35 menit. Puncak Ciremei dari sisi Selatan terdapat tugu penanda puncak tertinggi gunung Ciremei. 

Pendakian Jalur Palutugan
Photo taken by Bunny Hillary
Pos I Cigowong terletak di ketinggian 1450 mdpl. Di sini terdapat sungai kecil sehingga pendaki dapat menyiapkan persediaan air sebanyak mungkin karena tidak akan ditemui lagi sumber air hingga puncak. Selepas Cigowong lintasan masih landai memasuki hutan dan melewati Blok yang berada di ketinggian 1.690 mdpl, dan akan sampai di Blok Pangguyangan Badak. Paguyangan Badak merupakan area yang berada di ketinggian 1.790mdpl. Daerah ini terdapat puing-puing bangunan tua. Untuk sampai di Blok Arban perlu waktu sekitar 30 menit dengan lintasan yang mulai menanjak. Blok Arban diketinggian (2.030 mdpl) merupakan pos III dengan area yang cukup datar dan teduh. Lintasan mulai menanjak dan sekitar 2,5 jam akan sampai di Tanjakan Asoy (2.108mdpl) yang merupakan pos IV. Tempat ini berupa tanah datar berukuran yg cukup luas. Selepas dari sini lintasan semakin menanjak dalam waktu 1 jam akan sampai di Blok Pesanggrahan (2.450mdpl) . Selepas dari pos V (pasangrahan) pendaki mulai memasuki kawasan vegetasi yang ditumbuhi cantigi dan edelweiss sampai di Bolk SangHyang Ropoh (2.590 mdpl). Lintasan ini sangat licin jika hujan turun. SangHyang Ropoh (Pos VI) terletak di daerah yang datar dan terbuka. Selepas pos VI lintasan masih curam dan licin, dengan tanah berwama kuning mengandung belerang. Selanjutnya kita akan sampai di pertigaan yang menuju ke jalur Apuy dan ke Kawah Gua Walet. Pada sisi kanan lintasan terdapat Kawah Gua Walet (2.925 mdpl) yang sering digunakan untuk bermalam dan berlindung dari cuaca buruk. Di sebelah kiri, lintasan akan menyatu dengan jalur Apuy (Majalengka). Untuk sampai di puncak Ciremai (Puncak Sunan Cirebon) diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Sesampainya di puncak pendaki dapat menikmati indahnya pemandangan dua kawah kembar yang berdampingan. Untuk mengitari kawah ini diperlukan waktu kira-kira 3 jam. Selain itu, pendaki juga dapat menyaksikan ke arah barat indahnya kota Majalengka, ke arah utara panorama kota Cirebon dan Laut Jawa, serta dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Slamet yang tertutup awan. Di pagi hari pada bulan-bulan tertentu sunrise akan muncul tepat dari puncak gunung Slamet.

Pendakian Jalur Linggajati

Selepas dari Pos Pendaftaran dengan melintasi jalanan beraspal pendaki memasuki kawasan hutan Pinus dan persawahan hingga Cibeunar yang berada di ketinggian 750 mdpl. Tempat ini juga terdapat sumber air yang cukup melimpah, yang tidak akan ditemui lagi sepanjang perjalanan sampai di puncak. Selepas Cibeunar lintasan akan melewati ladang penduduk dan kawasan hutan pinus hingga memasuki Leuweng Datar di ketinggian 1.285 mdpl. Leuweng Datar terletak di tengah-tengah hutan tropis. Selepas daerah ini lintasan mulai menanjak dan melewati area yang cukup datar sebagai camp yakni Sigedang dan Kondang Amis (1.350mdpl). Untuk sampai di Kuburan Kuda diperlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Blok Kuburan Kuda berada pada ketinggian 1.580 mdpl, merupakan lapangan datar yang cukup luas dan cukup teduh sebagai tempat perkemahan. Selepas Kuburan Kuda, jalur semakin curam dan kita akan sampai di Pengalap (1.790 mdpl). Dengan sudut lintasan yang mulai membesar kita akan melewati Tanjakan Bin-Bin (1.920 mdpl) dan semakin menanjak lagi ketika melewati Tanjakan Seruni. Tanjakan Seruni (2.080 mdpl) adalah lintasan yang terberat dan melelahkan dibanding yang lainnya. Bahkan pendaki akan menemui jalan setapak yang terputus dan setengah memanjat, dan memaksanya berpegangan akar pepohonan untuk mencapai pos selanjutnya. Begitu juga dengan jalur berikutnya hingga sampai di Tanjakan Bapak Tere (2.200 mdpl) Selepas Tanjakan Bapatere lintasan tetap menanjak hingga sampai di Batu Lingga dengan waktu tempu sekitar 2,5 jam. Batu Lingga (2.400 mdpl) merupakan pos peristirahatan yang berupa tanah datar dan terdapat sebuah batu berukuran besar dahulunya tempat Wali songo bersolat dan berkotbah. Pos ini adalah tempat yang keramat, konon pawa Wali sering mengadakan pertemuan di tempat ini menurut kesaksian para pendaki kehadiran para wali ini ditandai dengan gumpalan cahaya yang terbang di tempat ini. Di tempat ini terdapat dua buah batu nisan. Meninggalkan kawasan Batu Lingga lintasan tetap menanjak. Di tengah perjalanan pendaki akan menemui dua pos peristirahatan berupa tanah datar yakni Sangga Buana Bawah (2.545 mdpl) dan Sangga Buana Atas (2.665 mdpl). Selepas itu pendaki akan memasuki batas vegetasi antara hutan dengan daerah terbuka. Untuk sampai di Pangasinan. Pangasinan berada pada ketinggian (2.860 mdpl) merupakan pos terakhir. tempatnya lebar sehingga cukup untuk membuka belasan tenda, meskipun lokasinya agak berbukit-bukit. Kabut dan hujan yang sering muncul dipuncak meskipun di musim kemarau menyisakan genangan air di celah-celah bebatuan sehingga bisa dimanfaatkan untuk minum dan memasak. Diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk merangkak melewati bebatuan cadas untuk sampai di puncak. Hujan deras sering muncul di puncak sehingga aliran air terkucur dari atas membasahi para pendaki. Di puncak pendaki bisa memandang melihat kota Cirebon dan laut Jawa, kapal-kapal besar nampak dikejauhan. Kearah Timur tampak gunung Slamet dengan puncaknya yang tertutup awan.
Photo taken by Bunny Hillary
Puncak gunung Ciremei memiliki kawah yang sangat curam dan sangat indah, pendaki yang nekad sering turun ke kawah untuk membuat tulisan di atas lumpur kawah. Pejiarah sering datang untuk berdoa dipuncak ini. Mereka mendaki dengan berpuasa dan makan bekal nasi bungkus setelah tiba di puncak. Bandingkan pejiarah dengan para pendaki gunung yang setiap saat makan dan minum saja kadang masih juga tidak sampai puncak. Banyak sekali pendaki yang hanya berkemah di pertengahan pos dan tidak sanggup meneruskan perjalanan ke puncak, karena medan yang berat dan susahnya air, dan kembali turun, untuk itu persiapkan bekal yang berlebih dan bawalah tenda. Karena kemungkinan besar perjalanan akan tertunda, sehingga harus bermalam.

Sumber :

No comments:

Post a Comment